Bangladesh, Indonesia, dan Iran adalah tiga negara yang tergolong paling rentan terhadap bencana alam. Pernyataan ini adalah kesimpulan sebuah penelitian yang diumumumkan Kamis ini. Duo raksasa Asia, China dan India, ikut berada dalam daftar 15 negara dari 229 yang termasuk berisiko ‘ekstrim’.
Indeks Bencana Alam (Natural Disasters Risk Index/DRI) disusun oleh sebuah firma konsultan risiko asal Inggris, Maplecroft, berdasarkan bencana-bencana alam yang terjadi sejak 1980 sampai 2010.
Indikatornya ada beberapa macam, termasuk frekuensi kejadian, total korban kematian, serta perbandingannya dengan populasi sebuah negara. Dalam daftar ini, bencana alam adalah gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, badai, banjir, kekeringan, longsor, gelombang panas, dan epidemi.
“Kemiskinan menjadi faktor penting di negara-negara yang frekuensi dan dampak bencana alamnya parah,” kata analis lingkungan Maplecroft, Anna Moss. “Infrastruktur yang buruk, ditambah kepadatan penduduk di daerah berisiko tinggi seperti dataran rendah, pinggiran sungai, tebing tinggi, terus menambah kemungkinan jumlah korban.”
Dalam penelitian NDRI itu, korban tewas dari Bangladesh mencapai 191 ribu orang dari bencana alam sepanjang 30 tahun terakhir. Indonesia juga memiliki angka korban yang hampir sama, sebagian besar akibat tsunami Desember 2004. Sementara di Iran, kerentanan terbesar terhadap bencana adalah gempa bumi, yang sudah menyebabkan tewasnya 74 ribu nyawa.
Sumber : Yahoonews
Selengkapnya...
Kamis, 27 Mei 2010
Indonesia, Tiga Besar Rentan Bencana
Selasa, 25 Mei 2010
Hukum dan Aturan Internet di Indonesia
I. Pendahuluan
Permohonanan Pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan oleh Amrie Hakim, Edy Cahyono, Nenda Inasa Fadhilah, PBHI, AJI Indonesia, dan LBH Pers dalam Perkara No 2/PUU-VII/2009 bersama-sama dengan Narliswandi Piliang dalam Perkara No 50/PUU-VI/2008 kandas sudah.
Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, melanggar prinsip lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai potensi disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi, berpendapat, menyebarkan informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan.
Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat relevan mengingat bahwa masalah reputasi sesungguhnya telah diatur secara rinci dan rigid dalam KUHP, sehingga pengaturan delik reputasi yang sama sekali baru tentu harus dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda, Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
II. Kemerdekaan Berekspresi dan Hak Atas Reputasi
Kemerdekaan Berekspresi dalam hukum Internasional diatur dalam Pasal 19 baik itu dalam Deklarasi Universal HAM dan juga Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Sementara dalam UUD 1945, perlindungan terhadap kemerdekaan berekspresi secara khusus diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) dan Pasal 28 F.
Dalam konsteks hukum internasional, pelaksanaan terhadap Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dapat dirujuk pada Pendapat Umum No 10 Kemerdekaan Berekspresi (Pasal 19): 29/06/83 dimana berdasarkan Pendapat Umum No 10 (4) tentang Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada pokoknya menegaskan bahwa pelaksanaan hak atas kemerdekaan berekspresi mengandung tugas-tugas dan tanggung jawab khusus, dan oleh karenanya pembatasan-pembatasan pembatasan tertentu terhadap hak ini diperbolehkan sepanjang berkaitan dengan kepentingan orang – orang lain atau kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Namun ada yang lebih dari sekedar pembatasan, karena Komentar Umum 10 (4) juga menegaskan bahwa penerapan pembatasan kebebasan kemerdekaan berekspresi tidak boleh membahayakan esensi hak itu sendiri.
Hak atas reputasi sebagaimana juga hak atas kemerdekaan berekspresi mendapatkan perlindungan dari hukum internasional terutama dalam Pasal 12 Deklarasi Universal HAM dan juga Pasal 17 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Konstitusi Indonesia juga menjamin perlindungan hak atas reputasi ini mendasarkan pada Pasal 28 G. Namun yang menjadi pertanyaan pokok, tepatkah bila asumsi dasar yang digunakan bahwa hanya hukum pidana yang dipandang sebagai satu-satunya cara dari bentuk perlindungan dari negara terhadap hak atas reputasi?
Jika melihat dari beragam putusan dari pengadilan-pengadilan hak asasi manusia berusaha melakukan penyeimbangan terhadap kedua hak tersebut. Beberapa pendapat juga menarik untuk diikuti yaitu pendapat dari Pengadilan HAM Eropa dalam kasus Lingens vs. Austria yang menyatakan bahwa hukuman pidana dalam delik reputasi dapat berakibat tekanan terhadap kemerdekaan berekspresi. Selain itu Inter-American Commission on Human Rights juga mencatat dalam kesimpulan dalam “Report on the Compatibility of “Desacato” Laws With the American Convention on Human Rights” yang pada pokoknya menyatakan bahwa “akan terjadi efek yang menakutkan (hukuman pidana) dalam kemerdekaan bereskpresi”. Selain itu jika melihat pendapat Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1964 menyatakan bahwa “ Even in Livingston’s day [circa 1830s], however, preference for the civil remedy, which enabled the frustrated victim to trade chivalrous satisfaction for damages, had substantially eroded the breach of the peace justification for criminal libel laws.” lebih lanjut Mahkamah Agung Amerika Serikat juga menyatakan bahwa “. . . under modern conditions, when the rule of law is generally accepted as a substitute for private physical measures, it can hardly be urged that the maintenance of peace requires a criminal prosecution for private defamation” (Toby D. Mendel: 2004).
Selain itu Komisi HAM PBB, dalam resolusinya tentang kemerdekaan berekspresi, setiap tahun selalu menyerukan keprihatinannya terhadap berlangsungnya apa yang Komisi HAM PBB namakan “abuse of legal provisions on defamation and criminal libel”. Tiga komisi internasional yang dibentuk dengan mandat untuk mempromosikan kemerdekaan berekspresi yatu UN Special Rapporteur, OSCE Representative on Freedom of the Media dan OAS Special Rapporteur on Freedom of Expression pada December 2002 juga mengeluarkan pernyataan bahwa “Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should be abolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws.”
Berdasarkan data dari Article 19 bahwa beberapa negara seperti Timor Leste (2000), Ghana (2001), Ukraine (2001) and Sri Lanka (2002), telah menghapus delik reputasi dalam KUHPnya masing – masing. Dan negara – negara ini tidak mengalami kenaikan yang signifikan, kuantitaf dan kualitatif, tentang pernyataan yang bersifat menyerang kehormatan sejak mereka menghapus delik reputasi dalam KUHPnya.
Oleh karena itu penulis sependapat dengan Toby Mendel bahwa (1) penggunan hukum pidana dalam delik reputasi adalah cara yang tidak proporsional dalam menangani masalah serangan terhadap kehormatan dan sebagai hasilnya masih munculnya delik reputasi dalam hukum pidana telah menimbulkan efek yang menakutkan dalam kemerdekaan berekspresi dan (2) penggunaan hukum perdata dalam menangani pelanggaran hak atas reputasi adalah proporsional untuk mengembalikan kehormatan dan nama baik
III. Problematika Delik Reputasi
Sejarah delik reputasi sendiri, berdasarkan pendapat Nono Anwar Makarim (2008), dapat ditelusuri hingga ke 1275 saat Statute of Westminster memperkenalkan apa yang dinamakan Scandalum Magnatum yang menyebutkan “ . . . . sejak sekarang tidak boleh lagi orang secara lancang mengutarakan atau menerbitkan berita dan cerita bohong yang dapat menumbuhkan konflik atau kemungkinan konflik atau fitnah antara raja dan rakyatnya atau orang-orang besar didalam negeri ini”
Scandalum Magnatum sendiri bertujuan menciptakan proses perdamaian dari keadaan yang dapat mengancam ketertiban umum ketimbang untuk melindungi reputasi serta pemulihan nama baik. Terlalu banyak kegaduhan bersenjata dan korban jiwa yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Dendam bahkan mengambil posisi lebih penting ketimbang perlindungan reputasi semata. Jaman itu informasi jarang bisa diperoleh dan sulit dikonfirmasi. Desas-desus gampang sekali mengakibatkan adu anggar dan pistol didepan umum. Kadangkala kegaduhan bahkan sedemikian meluas sampai menyerupai pemberontakan. Menurut Mahkamah Agung Kanada tujuan undang-undang tersebut adalah untuk mencegah beredarnya rumor palsu. Dalam masyarakat yang didominasi tuan-tuan tanah yang kekuasaannya begitu besar amarah sipembesar lokal bahkan bisa mengancam keamanan negara.
Delik reputasi di Indonesia, delik genusnya dapat ditemukan dalam Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Ada tiga persoalan pokok dalam memandang delik reputasi dalam KUHP yaitu :
(1) Niat kesengajaan untuk menghina
Meski pada umumnya delik reputasi dalam KUHP mensyaratkan adanya unsur “niat kesengajaan untuk menghina”, namun tampaknya Mahkamah Agung sejak Putusannya No 37 K/Kr/1957 tertanggal 21 Desember 1957 secara konsisten menyatakan bahwa “tidak diperlukan adanya animus injuriandi (niat kesengajaan untuk menghina)” Hal yang menarik dari unsur niat kesengajaan untuk menghina ini dapat ditafsirkan tindakan mengirimkan surat kepada instansi remsi yang menyerang nama baik dan kehormatan orang lain sudah diterima sebagai bukti adanya unsur kesengajaan untuk menghina
(2) Pemisahan opini dan fakta
Delik reputasi dalam KUHP jelas tidak memisahkan secara tegas antara opini dan fakta, tidak adanya pemisahan yang tegas ini dapat mengakibatkan pembuat opini dapat dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini dapat dilihat kasus Bersihar Lubis (2007) yang dipidana bersalah berdasarkan Pasal 207 KUHP
(3) Kebenaran pernyataan
Delik reputasi, terutamanya Pasal 310 KUHP, menurut Juswito Satrio (2005), tidak memerlukan kebenaran suatu pernyataan yang dianggap menghina, dalam bahasa yang sederhana seorang pelacur berhak merasa terhina apabila diteriaki sebagai pelacur. Sementara apabila pelaku delik reputasi diberikan kesempatan oleh Hakim untuk mebuktikan kebenaran tuduhannya namun ia tidak membuktikannya maka terhadap pelaku tersebut dijatuhi dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 KUHP. Oleh karena itu terdapat keterkaitan erat antara Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP
Dari tiga persoalan pokok delik reputasi dalam KUHP tersebut, maka Penulis berpendapat sudah waktunya Indonesia untuk menghapuskan tindak pidana yang terkait dengan reputasi ini dalam hukum pidana Indonesia
IV. Pengabaian Fakta Hukum
Putusan MK No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 terkait dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara jelas telah mengabaikan fakta – fakta yang terungkap di persidangan sebagai berikut
(1) Ketidakjelasan kategorisasi delik
Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas tidak menjelaskan apakah delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik Biasa. Jika merujuk pada pendapat Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH, dalam sidang pleno pada 19 Maret 2009 yang pada pokoknya menerangkan bahwa kategorisasi delik reputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sangat tergantung pada delik reputasi dalam KUHP yang di-insert kedalamnya. Dengan kata lain apabila delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik biasa maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik biasa namun jika delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik aduan maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan. Dalam pertimbangannya, MK langsung menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE masuk dalam kategori delik aduan, tanpa ada penjelasan teoritis bagaimana MK menemukan bahwa Pasal 27 ayat (3) masuk dalam kategori delik aduan
(2) Delik reputasi dalam KUHP masih mampu menjangkau ranah internet
Untuk memperkuat permohonannya, bahwa delik reputasi dalam KUHP masih mampu menjangkau ranah internet, para pemohon mengajukan bukti surat dakwaan atas nama Terdakwa Teguh Santosa yang didakwa dengan Pasal 156 a KUHP karena telah memasang gambar kartun “Nabi Muhammad” (yang telah moderasi – Pen) di situs berita Rakyat Merdeka Online. Selain itu Para Pemohon juga membantah pernyataan Saksi Pemerintah, Jaksa Arief Mulyawan, SH, MH yang menyatakan bahwa Pasal 310 KUHP tidak bisa digunakan dalam ranah internet dengan mengajukan contoh kasus Jurnalis Ahmad Taufik yang didakwa mencemarkan nama baik, saat tulisannya tentang kronologis penyerangan kantor Majalah Tempo dimuat di milis dan situs berita detik.com. Dengan kata lain bantahan Para Pemohon tersebut tidak pernah dijawab, baik oleh Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH maupun oleh saksi pemerintah, Jaksa Arief Mulyawan, SH, MH.
Selain itu jika mendasarkan Makalah dari Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH, dengan judul “Melihat Politik Kodifikasi Dalam Rancangan KUHP” yang dipresentasikan pada 28 September 2006 di Hotel Ibis Tamarin, dimana tulisan tersebut juga diajukan sebagai bukti dalam permohonan tersebut, secara jelas Dr. Mudzakkir, SH, MH menyatakan bahwa “pengaturan di luar KUHP dimungkinkan apabila tidak ada delik genus dalam KUHP yang menjadi cantolan delik yang baru karena kejahatan tersebut benar-benar kejahatan baru yang tidak ada padanannya dalam KUHP, jika ada ketentuan genus-nya dalam KUHP maka cukup dilakukan dengan cara mengamandemen KUHP”. Lebih lanjut dalam tulisan yang sama beliau menyatakan “perkembangan asas-asas hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari KUHP karena telah mengatur substansi hukum yang secara diam-diam membentuk sistem hukum pidana sendiri yang berbeda dengan dan tidak terkontrol atau tidak terkendali oleh asas-asas umum hukum pidana buku satu KUHP, padahal sesuai dengan prinsip kodifikasi buku satu KUHP memuat ketentuan umum hukum pidana nasional yang semestinya menjadi dasar dan landasan dalam mengembangkan hukum pidana dalam pengaturan perundang-undangan di luar KUHP. Delik-delik atau perbuatan pidana yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP sebagian besar mengambil rumusan delik dari KUHP. Kebijakan yang demikian ini menimbulkan adanya duplikasi dan juga triplikasi yang menyulitkan dalam penegakan hukum pidana, terutama problem pilihan hukum mana yang tepat untuk diterapkan dalam menghadapi perbuatan yang sama. Pengulangan pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan asas kepastian hukum dan kejelasan rumusan atau asas legalitas”
Dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa secara harfiah bahwa unsur di muka umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya. Selain itu dalam pertimbangan hukumnya MK juga menyatakan bahwa Pasal-Pasal tertentu dalam KUHP dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di dunia maya. Pernyataan MK bahwa Pasal 310 ayat (2) tidak dapat diterapkan dalam ranah dunia maya, dalam pandangan penulis, tidak dapat dilakukan oleh MK karena penafsiran terhadap hukum yang berlaku atau penerapan norma adalah masuk dalam kewenangan MA. Dalam banyak kasus, tidak ada satupun putusan MA terkait dengan penerapan delik reputasi dalam KUHP di dunia maya yang menjelaskan bahwa delik reputasi dalam KUHP tidak bisa menjangkau dunia maya, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa delik reputasi dalam KUHP tidak dapat menjangkau dunia maya
(3) Tidak ada negara hukum modern yang memiliki delik reputasi yang diatur secara khusus untuk penggunaan di ranah internet.
Untuk memperkuat permohonannya, para pemohon juga menyampaikan keterangan tertulis dari beberapa ahli sebagai berikut
Prof Willem Khortals Altes, Wakil Ketua PN Amsterdam – Belanda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Dutch law has no provision specifically criminalizing defamation if committed through the Internet. There is no doubt, however, that the above mentioned provisions also cover the Internet insofar as they criminalize written statements.”. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa “In 1993, the Law on Computer Criminality was adopted and inserted in the Dutch Wetboek van Strarecht. The 1993 law deals with hacking in various forms (Articles 138a, 161 sexies, 161 septies, 350a and 350b), the use of forged credit and debit cards (Article 232), child pornography (Article 240b), the use of stolen computer data belonging to businesses (Article 273), extortion (Article 317), blackmail (Article 318), the use of telecommunications facilities without pay (Article 326c), and the unlawful use of confidential radio and internet messages (Article 441). In addition, the so-called Cyber Crime Treaty of Budapest of Nov 23, 2001 was implemented in Dutch law, giving rise to further amendments to some of the provisions mentioned in this paragraph. None of these provisions deals with any type of defamation.”
George Bonaventur Hwang Chor Chee, Advokat pada Mahkamah Agung Singapura, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “It has not been Singapore’s legislative policy to create a new category of defamation for the internet, be it civil or criminal. This is evident from the law itself. Tthe government had ample opportunities to do so, especially, when: (1)introducing the Electronic Transactions Act in 1998 and its amendment in 2004; and (2) amending the Penal Code (Cap 224) with the Penal Code Amendment Act 2007 had it been necessary. The fact that it did not is proof that the government considers the law of defamation flexible enough to accommodate the new medium. Most of importantly, when the Ministry of Home Affairs released its “Consultation Paper on the Proposed Penal Code Amendments” on 8 Nov 2006, it made clear that it was going to expand the scope of s499, the section dealing with criminal defamation”. Lebih lanjut beliau menyatakan “The paper expressly mentioned that the Bill seeks to expand the scope of s499, the provision on defamation. This is done through the introduction of “Explanation 5”. This ensures that “the Penal Code keeps abreast of changes, especially technological changes”. The bill could have introduced a new offence for defamation on the internet, which it did not.”
James William Nolan, Advokat Australia, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “the Australian legal framework with respect to civil and criminal defamation and regulation of the internet demonstrates that nothing in Australian law creates a criminal offence of the kind now created in the law of Indonesia. Whereas the publication of ‘defamatory’ materials -whether electronically or by other means – may attract the sanction of the civil law and an aggrieved party may sue for civil damages, there is no crime so potentially far reaching or open to abuse as the crime of publishing ‘insulting’ materials (electronically or otherwise) in the Australian legal system. As pointed out above, the civil law of defamation provides robust defences for publishers/media outlets and these have been significantly enhanced with the recent harmonised law”
MK dalam pertimbangan hukumnya malah mengabaikan fakta-fakta dari tiga pendapat ahli yang disampaikan secara tertulis tersebut dan malah melakukan simplifikasi melalui pernyataan bahwa perbuatan seseorang yang melakukan perbuatan pencemaran nama baik dengan bantuan internet adalah dapat dituntut atau dihukum. Penulis sama sekali tidak menemukan penjelasan kenapa MK mengabaikan kenyataan bahwa tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan melalui sarana internet di tiga negara ini dapat dilakukan melalui KUHP asal ahli tersebut
(4) Kekaburan Definisi
Dalam permohonannya Para Pemohon dengan baik menunjukkan beragam definisi tentang perbuatan mentransmisikan dan mendistribusikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan juga Black Law Dictionary yang secara diametral sangat berbeda definisinya dalam lapangan praktik. Selain itu pengertian akses sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE jelas berlawanan dengan pengertian akses dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dimana akses menurut Pasal 1 angka 15 dilakukan terhadap sistem elektronik dan bukan terhadap informasi dan/atau dokumen elektonik.
Dalam pertimbangannya MK malah hanya mengambil alih definisi mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya sebagaimana dijelaskan oleh Ahli Pemohon Andika Triwidada. Penulis sama sekali tidak bisa menemukan bagaimana MK dapat mengabaikan definisi resmi yang terdapat KBBI dan juga Black Law Dictionary. Persoalan lain yang sangat mungkin muncul adalah definisi manakah yang akan diambil oleh peradilan umum, mengingat besar kemungkinan pertimbangan dalam putusan MK tidak akan dijadikan rujukan oleh peradilan umum.
Terlihat jelas, bahwa Putusan No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan No 2/PUU-VII/2009 telah mengabaikan beragam fakta hukum yang tampil di persidangan sebagaimana telah penulis sebutkan diatas
V. Bukan Konstitusional Bersyarat
Salah satu yang dapat dianggap kemenangan kecil adalah masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE kedalam delik aduan, namun yang harus catatan penting dan harus dicermati dengan baik adalah pernyataan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya ada dalam pertimbangan hukum MK dan bukan masuk kedalam amar putusan atau dalam kesimpulan dari Putusan MK tersebut. Sehingga dalam pandangan penulis, sangat mungkin terjadi apabila aparat penegak hukum malah mengabaikan pertimbangan hukum dari MK tersebut dan mengikuti pandangan dari Dr. Mudzakkir, SH, MH, Ahli pemerintah, yang menyatakan bahwa kategorisasi delik reputasi dalam Pasal 27 ayat (3) mengikuti jenis delik reputasi dalam KUHP yang akan didakwakan.
Selain itu penulis menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana MK memberikan definisi yang berbeda tentang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” pada Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009. Dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008, MK menyatakan (garis tebal oleh penulis):
“Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Sementara dalam Putusan Perkara No 2/PUU-VII/2009, MK malah menyatakan (garis tebal oleh penulis):
“Bahwa unsur sengaja berarti pelaku menghendaki dan mengetahui perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumentasi elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Unsur tanpa hak dimaksudkan untuk menghindarkan orang yang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik berdasarkan hukum dapat dipidana”
VI. Kesimpulan
Dengan melihat dan mempelajari Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 jo Putusan No 50/PUU-VI/2008 maka dapat diambil kesimpulan bahwa MK telah mengambil garis yang konservatif dalam memandang eksistensi dan penerapan delik reputasi dalam KUHP dalam ranah Internet. Kedua putusan tersebut, dalam pandangan penulis, hanya sekedar memberikan legitimasi keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan cara mengabaikan beragam fakta hukum yang timbul dan muncul dalam persidangan. Dengan pandangan seperti ini, penulis sangat kuatir akan munculnya banyak delik reputasi yang diatur dalam beragam UU.
Sampai saat ini dalam catatan Penulis, delik reputasi telah diatur dalam KUHP, UU Penyiaran, dan juga UU ITE. Dimasa depan, dalam pandangan penulis, akan sangat mungkin muncul delik reputasi dalam RUU Konvergensi Media, RUU Cyber Crime, dan RUU Anti Cyber Crime serta RUU lainnya dengan menggunakan cara berpikir yang dianut oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan meminjam bait terkenal dari sastrawan Widji Thukul maka penulis ingin menyatakan “Hanya Ada Satu Kata, Lawan!”
Sumber : www.legalitas.org
Selengkapnya...
Minggu, 09 Mei 2010
Muncul Embrio Bintang yang Melebihi Matahari
Sebuah calon bintang raksasa dengan massa jauh lebih besar dibanding Matahari di tata surya ini sedang tumbuh dalam sebuah gelembung gas. Gambar embrio bintang tersebut terekam oleh teleskop Herschel milik Badan Luar Angkasa Eropa (ESA).
Menurut laman stasiun televisi BBC, 6 Mei 2010, citra gelembung gas yang disebut RCW 120 itu dirilis beberapa hari menjelang peringatan satu tahun peluncuran teleskop Herschel ke orbit. ESA meluncurkan teleskop Herschel pada 14 Mei 2009.
Detektor inframerah milik Herschel mampu melihat materi bersuhu rendah yang bisa melahirkan bintang. Citra seperti RCW 120 akan membantu menjelaskan bagaimana proses sebuah bintang raksasa terbentuk.
Calon bintang raksasa dalam citra teleskop tersebut tampak seperti sebuah gumpalan putih di tepi bawah gelembung. Embrio itu diperkirakan bisa tumbuh menjadi salah satu bintang terbesar dan yang paling cerah di galaksi dalam ratusan ribu tahun mendatang.
Calon bintang raksasa tersebut sudah memiliki massa sekitar delapan hingga sepuluh kali lebih besar dibanding massa Matahari, dan dikelilingi begitu banyak material.
Bila lebih banyak gas dan debu berjatuhan di bintang tersebut, objek itu berpotensi menjadi salah satu objek raksasa dalam Galaksi Bima Sakti, dan akan berpengaruh bagi lingkungan sekitarnya.
"Ini merupakan bintang besar yang mengontrol evolusi kimia dan kedinamisan galaksi," terang ilmuwan Herschel, Dr. Annie Zavagno, dari Laboratoire d'Astrophysique de Marseille.
"Ini merupakan bintang besar yang menciptakan elemen berat seperti besi dan elemen-elemen tersebut akan berada di ruang antar bintang. Dan karena bintang-bintang besar mengakhiri hidup mereka dengan ledakan supernova, mereka juga menyuntikkan energi besar ke galaksi," lanjut Zavagno.
Herschel memiliki kemampuan unik yakni mampu melihat proses fisik yang tidak bisa dilakukan teleskop lain. Teleskop Hubble misalnya, tidak bisa melihat secara detail seperti yang dihasilkan Herschel.
Sumber : VIVAnews
Selengkapnya...
Senin, 03 Mei 2010
Ledakan di Duren Sawit Mirip Asteroid di Bone
Misteri ledakan di Jl Delima, Duren Sawit, Jakarta Timur belum terpecahkan. Namun benda yang jatuh di rumah Sudarmodjo tersebut diduga mirip asteroid yang pernah jatuh di Bone pada 8 Oktober 2009. Sejumlah warga melihat adanya kilatan sebelum benda asing itu menimpa rumah.
"Kalau ada kilatan bisa jadi asteroid. Asteroid itu pecah di angkasa," peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan) bidang Matahari dan Antariksa, Abdurrahman, di lokasi kejadian, Jumat (30/4/2010).
Menurut Abdurrahman, ledakan di Duren Sawit ada kemiripan dengan ledakan di Bone pada tahun 8 Oktober 2010. Saat benda itu meledak dan terbakar, seperti ada kilatan.
"Kalau kata masyarakat seperti kembang api. Dia meledak di angkasa kemudian jatuh di laut (Bone). Waktu itu ledakan sangat dahsyat sampai terdengar dari radius beberapa kilometer," ungkapnya.
Abdurrahman menduga benda yang jatuh di Duren Sawit adalah benda alami, bukan sejenis roket atau satelit.
"Kami belum bisa simpulkan itu benda apa. Kami menduga itu bukan benda buatan seperti roket atau satelit. Mungkin benda alami," ujar
Abdurrahman mengatakan, setelah melihat di lokasi, memang ada terlihat efek tekanan karena banyak kaca yang pecah. Efek panas juga memang kelihatan.
"Ada benda yang terbakar dan juga ada yang meleleh," katanya.
Abdurrahman menjelaskan, tidak mendeteksi melalui radar atau teleskop untuk memantau benda yang jatuh. Beberapa warga menjelaskan ada desingan dan kilatan.
Sumber : detikNews
Selengkapnya...
Efek Buruk Ponsel Bagi Anak
Membiarkan anak-anak di bawah usia 12 tahun menggunakan telepon seluler sama saja membiarkannya dalam zona bahaya. Penggunaan ponsel pada anak dapat memicu gangguan kesehatan yang cukup serius.
Profesor Lawrie Challis, yang baru saja menyelesaikan program penelitian Mobile Telecommunications and Health Research (MTHR) memperingatkan bahwa anak di bawah usia 12 tahun tidak boleh diberikan ponsel.
Efek radiasi dari ponsel berbahaya untuk kesehatan. Penggunaan ponsel saat menginjak usia remaja pun sebaiknya lebih memanfaatkan fasilitas berkirim pesan, daripada fasilitas percakapan langsung.
Meskipun tidak ada bukti bahwa anak-anak lebih sensitif terhadap paparan radiasi ponsel dibandingkan orang dewasa, tapi perlindungan ekstra terhadap anak di usia pertumbuhan tak bisa diabaikan.
"Saya pikir masuk akal, karena sistem kekebalan tubuh mereka masih berkembang. Kita tahu anak-anak lebih sensitif terhadap banyak hal, seperti paparan ultraviolet. Anak yang terkena sinar matahari berlebih, cenderung mudah terkena kanker kulit dibanding orang dewasa dalam kondisi yang sama,” katanya.
Ia tak memungkiri bahwa para orangtua memberikan ponsel kepada anak-anaknya untuk memudahkan kontrol. Namun dia menambahkan, kesehatan mereka jauh lebih penting. Penggunaan ponsel dalam waktu yang lama bisa memicu atau memperburuk pertumbuhan sel kanker, mengganggu kesehatan telinga, kulit dan otak.
Kesimpulan didapat setelah MTHR melakukan studi pelacakan penggunaan ponsel pada anak dan remaja selama 30 tahun. Studi dilakukan terhadap 250.000 orang Eropa, termasuk 100.000 masyarakat Inggris.
Penelitian lain juga tengah mendeteksi apakah penggunaan ponsel bisa meningkatkan kemungkinan penyakit saraf seperti Alzheimer, Parkinson, multiple sclerosis, stroke, penyakit jantung, dan kondisi yang kurang serius seperti sakit kepala dan gangguan tidur.
Namun, tak perlu terlampau cemas. Hampir semua produsen ponsel di dunia telah melengkapi produknya dengan headset untuk mengurangi radiasi ke otak. "Dalam dunia yang ideal, perangkat ponsel terus dikembangkan. Dengan menggunakan handset, kami rasa penggunaan ponsel pada anak aman,” kata Graham Philips, seorang pengawas industri telepon seluler.
Direktur Eksekutif Mobile Operators Association, John Cooke, menambahkan, "Jika orang tua khawatir, mereka dapat mendorong anak-anak mereka untuk tetap menerima panggilan pendek, sms, atau menggunakan perangkat hands-free. Ini akan lebih aman,” ujarnya.
Sumber : Yahoo News
Selengkapnya...
Jepang Kembangkan Alat Elektronik Pembaca Pikiran
Dalam waktu 10 tahun, para insinyur dan pelaku industri di Jepang berambisi menciptakan jenis perangkat elektronika generasi baru yang dilengkapi mesin pembaca pikiran. Alat semacam itu memungkinkan panggunanya bermain game atau mengendalikan perangkat miliknya dengan pikirannya.
Teknologi pembaca pikiran sebenarnya bukan hal baru. Namun, tantangan paling besar untuk menghadirkannya ke konsumen adalah kepraktisan user interface yang menjadi perantara sinyal otak dengan sistem komputer.
Perangkat seperti yang banyak muncul di film-film fiksi ilmiah tersebut akan memanfaatkan teknologi penerjemah sinyal otak ke mesin. Teknologi tersebut sanggup menganalisis gelombang otak manusia dan pola aliran darah yang dideteksi dari sensor-sensor yang dipasang pada kepala dan anggota tubuh lainnya.
Bentuk akhir perangkat yang dikembangkan antara lain sebuah televisi yang bisa dioperasikan tanpa menggunakan tombol atau ponsel yang bisa mengirim SMS tanpa harus diketik. Aplikasi lainnya mungkin digunakan pada sistem navigasi mobil yang akan mencari restoran terdekat jika penggunanya lapar dan AC yang akan beradaptasi dengan suhu tubuh pengguna yang ada di ruangan secara otomatis. Bisa juga robot asisten yang tahu kebutuhan pengguan manula dan membantu membawakan kebutuhannya.
Inisiatif penelitian bersama untuk mengembangkan produk yang siap dipasarkan pada 2020 itu telah dimulai awal tahun ini atas dukungan pemerintah dan swasta. Seperti dilansir suratkabar Nikkei, Jepang, beberapa perusahaan besar yang terlibat antara lain Toyota, Honda, dan Hitachi. Sementara lembaga riset yang mendukung antara lain National Institute of Information and Communications Technology, Universitas Osaka, dan the Advanced Telecommunications Research Institute International.
Sumber : Yahoo News
Selengkapnya...
"Kejahatan" yang Dilakukan Wanita di Facebook
Banyak hal yang bisa Anda lakukan di Facebook. Tidak hanya sebagai wadah bersosialisasi, situs jejaring ini juga bisa dijadikan tempat untuk memantau dan memengaruhi orang lain.
Menurut beberapa pria, seperti yang dikutip dari foxnews.com, wanita bisa memanfaatkan Facebook, tidak hanya dalam hal positif, tapi juga hal negatif. Salah satunya jika terkait masalah hubungan dengan lawan jenis.
Berikut opini beberapa pria yang membeberkan hal mengejutkan yang bisa dilakukan wanita di Facebook.
1. Membuat profil palsu untuk menguntit mantan pacar
Hal satu ini mungkin tampak sedikit ekstrem. Tapi, banyak wanita sengaja membuat profil palsu untuk bisa memantau mantan pacar tanpa diketahui pasangannya. Daripada menelepon atau mengirimkan sms, sekadar menulis "Apa kabar?" di wall Facebook, cara ini memang lebih aman.
2. Memanipulasi penampilan
Menurut pria, tidak sedikit wanita yang sering memasang foto di Facebook untuk menampilkan citra diri yang tidak sesuai realitas. Dalam foto-foto mungkin ingin terlihat lebih seksi dan berani atau sebaliknya, dan berlawanan dengan kenyataan. Hati-hati, hal ini bisa menjadi bumerang buat wanita.
3. Menulis status berlebihan dan provokatif
Status di Facebook bisa dibaca siapa saja dan banyak wanita yang mengggunakannya untuk tujuan provokasi atau pamer. Bagi pria, hal yang paling menyebalkan adalah "curhat", soal kehidupan pribadi di status. Menurut pria, lebih baik berbicara langsung daripada mengumbarnya di
Facebook, karena kesannya seperti mengharap belas kasihan. Selain itu, pamer soal kelebihan atau tempat yang didatangi dan langsung memasangnya di status.
4. Memasang foto ambigu
Status sudah berhubungan dengan seseorang, tetapi dalam beberapa foto terlihat mesra dengan pria lain. Hal ini seperti ingin "membakar" rasa cemburu pasangan dengan cara kekanakan. Foto ambigu itu juga menurut pria, sengaja untuk membuat orang lain mempertanyakan hubungannya, dan
memberikan perhatian padanya.
5. Status hubungan palsu
Beberapa wanita lajang banyak memasang status hubungan dengan "in a relationship". Hal ini dilakukan untuk menghindari reaksi "kasihan" orang atas statusnya yang masih lajang. Hal ini menurut pria, sangat tidak masuk akal, karena justru status tersebut menghambatnya mendapat pasangan.
Sumber : Yahoo News
Selengkapnya...
Rangkuman Materi UTS B.Indonesia
I. Penalaran Induktif
Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut induksi. Penalaran induktif mungkin merupakan generalisasi, analogi, atau hubungan sebab akibat.
Generalisasi adalah proses penalaran yang mengandalkan beberapa pernyataan yang mempunyai sifat tertentu untuk mendapatkan simpulan yang bersifat umum.
Contoh :
Jika ada udara, manusia akan hidup.
Jika ada udara, hewan akan hidup.
Jika ada udara, tumbuhan akan hidup.
Jadi, jika ada udara mahkluk hidup akan hidup.
Analogi adalah cara penarikan penalaran dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama.
Contoh :
Nina adalah lulusan Akademi Amanah.
Nina dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Ali adalah lulusan Akademi Amanah.
Oleh Sebab itu, Ali dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Hubungan kausal adalah penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan.
Macam hubungan kausal :
1. Sebab- akibat.
Hujan turun di daerah itu mengakibatkan timbulnya banjir.
2. Akibat – Sebab.
Andika tidak lulus dalam ujian kali ini disebabkan dia tidak belajar dengan baik.
3. Akibat – Akibat.
Ibu mendapatkan jalanan di depan rumah becek, sehingga ibu beranggapan jemuran di rumah basah.
II. Penalaran Deduktif
Penalaran yang bertolak dari sebuah konklusi/kesimpulan yang didapat dari satu atau lebih pernyataan yang lebih umum. Dalam penalaran deduktif terdapat premis. Yaitu proposisi tempat menarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan secara deduktif dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penarikan secara langsung ditarik dari satu premis. Penarikan tidak langsung ditarik dari dua premis. Premis pertama adalah premis yang bersifat umum sedangkan premis kedua adalah yang bersifat khusus.
Jenis penalaran deduksi yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu
a. Silogisme Kategorial;
b. Silogisme Hipotesis;
c. Silogisme Akternatif;
d. Entimem.
a. Silogisme Kategorial : Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi.
Premis umum : Premis Mayor (My)
Premis khusus :Premis Minor (Mn)
Premis simpulan : Premis Kesimpulan (K)
Dalam simpulan terdapat subjek dan predikat. Subjek simpulan disebut term mayor, dan predikat simpulan disebut term minor.
Aturan umum dalam silogisme kategorial sebagai
berikut:
1) Silogisme harus terdiri atas tiga term yaitu : term mayor, term minor, term penengah.
2) Silogisme terdiri atas tiga proposisi yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.
3) Dua premis yang negatif tidak dapat menghasilkan simpulan.
4) Bila salah satu premisnya negatif, simpulan pasti negatif.
5) Dari premis yang positif, akan dihasilkan simpulan yang positif.
6) Dari dua premis yang khusus tidak dapat ditarik satu simpulan.
7) Bila premisnya khusus, simpulan akan bersifat khusus.
8) Dari premis mayor khusus dan premis minor negatif tidak dapat ditarik satu simpulan.
Contoh silogisme Kategorial:
My : Semua mahasiswa adalah lulusan SLTA
Mn : Badu adalah mahasiswa
K : Badu lulusan SLTA
My : Tidak ada manusia yang kekal
Mn : Socrates adalah manusia
K : Socrates tidak kekal
b. Silogisme Hipotesis: Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis. Konditional hipotesis yaitu : bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen.
Contoh :
My : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.
Mn : Air tidak ada.
K : Jadi, Manusia akan kehausan.
My : Jika tidak ada udara, makhluk hidup akan mati.
Mn : Makhluk hidup itu mati.
K : Makhluk hidup itu tidak mendapat udara.
c. Silogisme Alternatif : Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Contoh :
My : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Mn : Nenek Sumi berada di Bandung.
K : Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
My : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Mn : Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
K : Jadi, Nenek Sumi berada di Bandung.
d. Entimem
Entimem ini pada dasarnya adalah silogisme. Tetapi, di dalam entimem salah satu premisnya dihilangkan/tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui. Yang dikemukakan hanya premis minor dan simpulan.
Contoh:
Menipu adalah dosa karena merugikan orang lain.
Kalimat di atas dapat dipenggal menjadi dua:
menipu adalah dosa (a)
karena (menipu) merugikan orang lain. (b)
Kalimat a merupakan kesimpulan sedangkan kalimat b adalah premis minor (karena bersifat khusus). Maka silogisme dapat disusun:
My :
Mn : menipu merugikan orang lain
K : menipu adalah dosa.
Dalam kalimat di atas, premis yang dihilangkan adalah premis mayor. Untuk melengkapinya kita harus ingat bahwa premis mayor selalu bersifat lebih umum, jadi tidak mungkin subjeknya "menipu". Kita dapat menalar kembali dan menemukan premis mayornya: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa. Untuk mengubah entimem menjadi silogisme, mula-mula kita cari dulu kesimpulannya. Kata-kata yang menandakan kesimpulan ialah kata-kata seperti jadi, maka, karena itu, dengan demikian, dan sebagainya. Kalau sudah, kita temukan apa premis yang dihilangkan.
Contoh lain:
Pada malam hari tidak ada matahari, jadi tidak mungkin terjadi proses fotosintesis.
Bagaimana bentuk silogismenya?
My : Proses fotosintesis memerlukan sinar matahari
Mn : Pada malam hari tidak ada matahari
K : Pada malam hari tidak mungkin ada fotosintesis.
Sebaiknya, kita juga dapat mengubah silogisme ke dalam entimem, yaitu dengan menghilangkan salah satu premisnya.
Contoh:
My : Anak-anak yang berumur di atas sebelas tahun telah mampu berpikir formal.
Mn : Siswa kelas VI di Indonesia telah berumur lebih dari sebelas tahun
K : Siswa kelas VI di Indonesia telah mampu berfikir formal
Kalau dihilangkan premis mayornya entimemnya akan berbunyi “siswa kelas VI di Indonesia telah berumur lebih dari sebelas tahun, jadi mereka mampu berpikir formal”. Atau dapat juga “Anak-anak kelas VI di Indonesia telah mampu berpikir formal karena mereka telah berumur lebih dari sebelas tahun”. Kalau dihilangkan premis minornya menjadi “Anak-anak yang berumur di atas sebelas tahun telah mampu berpikir formal; karena itu siswa kelas VI telah mampu berpikir formal.
Salah Nalar
Gagasan, pikiran, kepercayaan, atau simpulan yang salah, keliru, atau cacat.
Jenis-jenis salah nalar
a. Deduksi yang salah : Simpulan dari suatu silogisme dengan diawali premis yang salah atau tidak memenuhi persyaratan.
contoh :
Kalau listrik masuk desa, rakyat di daerah itu menjadi cerdas.
Semua gelas akan pecah bila dipukul dengan batu.
b. Generalisasi terlalu luas
Salah nalar ini disebabkan oleh jumlah premis yang mendukung generalisasi tidak seimbang dengan besarnya generalisasi itu sehingga simpulan yang diambil menjadi salah.
Contoh :
Setiap orang yang telah mengikuti Penataran P4 akan menjadi manusia Pancasilais sejati.
Anak-anak tidak boleh memegang barang porselen karena barang itu cepat pecah.
c. Pemilihan terbatas pada dua alternatif
Salah nalar ini dilandasi oleh penalaran alternatif yang tidak tepat dengan pemilihan jawaban yang ada.
Contoh :
Orang itu membakar rumahnya agar kejahatan yang dilakukan tidak diketahui orang lain.
d. Penyebab Salah Nalar
Salah nalar ini disebabkan oleh kesalahan menilai sesuatu sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran maksud.
Contoh:
Broto mendapat kenaikan jabatan setelah ia memperhatikan dan mengurusi makam leluhurnya.
Anak wanita dilarang duduk di depan pintu agar tidak susah jodohnya.
e. Analogi yang Salah
Salah nalar ini dapat terjadi bila orang menganalogikan sesuatu dengan yang lain dengan anggapan persamaan salah satu segi akan memberikan kepastian persamaan pada segi yang lain.
Contoh:
Anto walaupun lulusan Akademi Amanah tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan baik.
f. Argumentasi Bidik Orang
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh sikap menghubungkan sifat seseorang dengan tugas yang diembannya.
Contoh:
Program keluarga berencana tidak dapat berjalan di desa kami karena petugas penyuluhannya memiliki enam orang anak.
g. Meniru-niru yang sudah ada
Salah nalar jenis ini berhubungan dengan anggapan bahwa sesuatu itu dapat kita lakukan kalau orang lain melakukan hal itu.
Contoh:
Kita bisa melakukan korupsi karena pejabat pemerintah melakukannya.
Anak SLTA saat mengerjakan ujian matematika dapat menggunakan kalkulator karena para profesor menggunakan kalkulator saat menjawab ujian matematika.
III. Hakikat Karangan Ilmiah
Pengertian Karangan Ilmiah
Suatu karangan atau tulisan yang diperoleh sesuai dengan sifat keilmuannya dan didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya/ keilmiahannya.
Tujuan karangan ilmiah, antara lain: memberi penjelasan, memberi komentar atau penilaian, memberi saran, menyampaikan sanggahan, serta membuktikan hipotesa.
Ciri-ciri Karangan ilmiah
1. Kejelasan.
Artinya semua yang dikemukakan tidak samar-samar, pengungkapan maksudnya tepat dan jernih.
2. Kelogisan.
Artinya keterangan yang dikemukakan masuk akal.
3. Kelugasan.
Artinya pembicaraan langsung pada hal yang pokok.
4. Keobjektifan
Artinya semua keterangan benar-benar aktual, apa adanya.
5. Keseksamaan
Artinya berusaha untuk menghindari diri dari kesalahan atau kehilafan betapapun kecilnya.
6. Kesistematisan
Artinya semua yang dikemukakan disusun menurut urutan yang memperlihatkan kesinambungan.
7. Ketuntasan.
Artinya segi masalah dikupas secara mendalam dan selengkap-lengkapnya.
Jenis Karangan Ilmiah
• Makalah
Makalah ialah karya tulis ilmiah yang menyajikan masalah atau topik dan dibahas
berdasarkan data di lapangan atau kepustakaan; data itu bersifat empiris dan objektif. Jumlah halaman untuk makalan minimal 10 halaman.
• Kertas kerja
Kertas kerja ialah karya tulis ilmiah yang bersifat lebih mendalam daripada makalah dengan menyajikan data di lapangan atau kepustakaan; data itu bersifat empiris dan objektif. Jumlah halaman untuk kertas kerja minimal 40 halaman.
• Skripsi
Skripsi ialah karya tulis ilmiah yang mengemukakan pendapat penulis berdasarkan pendapat orang lain (karya ilmiah S I). Karya ilmiah ini ditulis untuk meraih gelar sarjana. Langsung (observasi lapangan) skripsi tidak langsung (studi kepustakaan). Jumlah halaman untuk skripsi minimal 60 halaman
• Tesis
Tesis ialah karya tulis ilmiah yang mengungkapkan pengetahuan baru dengan melakukan pengujian terhadap suatu hipotesis. Tesis ini sifatnya lebih mendalam daripada skripsi (karya ilmiah S II). Karya ilmiah ini ditulis untuk meraih gelar magister. Jumlah halaman untuk Tesis minimal 80 halaman
• Disertasi
Disertasi ialah karya tulis ilmiah yang mengemukakan teori atau dalil baru yang dapat
dibuktikan berdasarkan fakta secara empiris dan objektif (karya ilmiah S III). Karya ilmiah ini ditulis untuk meraih gelar doktor. Jumlah halaman untuk Disertasi minimal 250 halaman.
1. Perbedaan makalah dan kertas kerja
Makalah sebenarnya sama dengan kertas kerja. Perbedaannya adalah kertas kerja itu dikerjakan dengan lebih serius dibanding makalah, dan disampaikan di forum-forum ilmiah maupun praktisi yang lebih besar. Makalah lebih banyak ditulis oleh siswa dan mahasiswa dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah.
2. Perbedaan Skripsi, Tesis dan Disertasi
Skripsi, tesis dan disertasi adalah KTI dalam suatu bidang studi yang masing-masing ditulis oleh mahasiswa program S1, S2 dan S3. Perbedaan ketiganya secara relatif disebabkan oleh kedalaman, keluasan, dan sifat temuan yang lebih asli atau kurang asli, serta kekritisan dalam membahas pendapat orang lain.
3. Persamaan skripsi, tesis dan disertasi
Skripsi, tesis dan disertasi adalah KTI yang merupakan riset asli. Skripsi, tesis dan disertasi ditulis dengan terlebih dahulu melakukan riset praktis atau kajian kepustakaan. Karena ketiganya merupakan laporan penelitian lapangan dengan cara mengumpulkan data empiris dari lapangan, ketiganya juga merupakan KTI riset asli.
IV. Metode Ilmiah
1. Pengumpulan Informasi
Sumber informasi antara lain : pengalaman diri sendiri, sumber-sumber ilmu pengetahuan ataupun data dari penelitian yang berhubungan dengan percobaan-percobaan yang akan dilakukan.
2. Identifikasi Masalah
Masalah adalah pertanyaan ilmiah yang akan dicari solusinya. Masalah dapat diungkapkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Masalah pertanyaan didefinisikan dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang jawabannya belum diketahui dan yang dikaji dalam penelitian yang dikerjakan.
3. Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah suatu ide untuk menyelesaikan suatu masalah. Hipotesis merupakan kunci keberhasilan suatu eksperimen. Hipotesis merupakan salah satu bentuk konkrit dari perumusan masalah. Dengan adanya hipotesis, pelaksanaan penelitian diarahkan untuk membenarkan atau menolak hipotesis.
4. Eksperimen
Eksperimen adalah proses pengujian hipotesis. Sesuatu yang mempengaruhi eksperimen disebut variabel. Ada tiga jenis untuk mengidentifikasi eksperimen: variabel bebas, variabel tidak bebas dan variabel pengontrol.
Variabel bebas adalah variabel yang bisa diubah. Variabel tak bebas adalah variabel setelah pengamatan, bisa berubah karena dipengaruhi variabel bebas. Variabel-variabel yang tidak berubah disebut variabel variabel pengontrol.
5. Perumusan Kesimpulan
Kesimpulan adalah intisari dari hasil eksperimen dan pernyataan mengenai hubungan hasil eksperimen dengan hipotesis, termasuk juga alasan-alasan yang menyebabkan hasil eksperimen hasil eksperimen berbeda dengan hipotesis. Jika perlu kesimpulannya dapat diakhiri dengan memberikan masukan-masukan untuk pengujian selanjutnya.
V. Usulan Karya Tulis Ilmiah
1. Halaman Judul
2. Halaman Persetujuan
3. Isi
3.1. Judul
3.2. Latar Belakang Masalah
3.3. Rumusan Masalah
3.4. Batasan Masalah
3.5. Tujuan
3.6. Manfaat
3.7. Sistematika Penulisan
3.8. Daftar Pustaka
3.9. Rencana Kegiatan
VI. Perencanaan Penulisan Karangan Ilmiah
1. Pemilihan topik
2. Pembatasan topik
3. Pemilihan judul
4. Menentukan tujuan penulisan
5. Menentukan bahan penulisan
6. Menentukan kerangka karangan
7. Langkah-langkah penulisan ilmiah
Selengkapnya...